terkemuka di
biasanya, Imron, putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD
yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.
"Kok, belum tidur?" sapa Rudi sambil mencium anaknya. Biasanya,
Imron memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan
berangkat ke kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang ayah menuju
ruang keluarga, Imron menjawab, "Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau
Tanya berapa sih gaji Ayah?"
"Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?"
"Ah, enggak. Pengen tahu aja."
"Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10
jam dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung
25 hari kerja. Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?"
Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar,
sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika
Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya.
"Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu
jam ayah digaji Rp 40.000,- dong," katanya.
"Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobo," perintah Rudi.
Tetapi Imron tak beranjak. Sambil menyaksikan ayahnya berganti
pakaian, Imron kembali bertanya,
"Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- nggak?"
"Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam
begini? Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah."
"Tapi, Ayah..." Kesabaran Rudi habis. "Ayah bilang tidur !" hardiknya
mengejutkan Imron. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya. Usai
mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya.
Iapun menengok Imron di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum
tidur. Imron didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil memegang
uang Rp.15.000,- di tangannya.
Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata,
"Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Imron. Buat apa sih minta uang
malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok'
Jangankan Rp 5.000,-lebih dari itu pun ayah kasih."
"Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau
sudah mena bung lagi dari uang jajan selama minggu ini."
"Iya,iya, tapi buat apa?" tanya Rudi lembut.
"Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga.
Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat
berharga. Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp
15.000,-. Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp 40.000,-
maka setengah jam harus Rp 20.000,-Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-.
Makanya aku mau pinjam dari Ayah," kata Imron polos.
Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu
erat-erat. Saya tidak tahu apakah kisah di atas fiktif atau kisah nyata. Tapi
saya tahu kebanyakan anak-anak orang kantoran maupun wirausahawan saat
ini memang merindukan saat-saat bercengkerama dengan orang tua mereka.
Saat dimana mereka tidak merasa "disingkirkan" dan diserahkan kepada
suster, pembantu atau sopir. Mereka tidak butuh uang yang lebih
banyak. Mereka ingin lebih dari itu.
Mereka ingin merasa
hal ini berlebihan? Sebagian besar wanita karier yang nampaknya
menikmati emansipasi-nya, diam-diam menangis dalam hati ketika
anak-anak mereka lebih dekat dengan suster, supir, dan pembantu daripada ibu
kandung mereka sendiri. Seorang wanita muda yang menduduki posisi asisten
manajer sebuah bank swasta, menangis pilu ketika menceritakan
bagaimana anaknya yang sakit demam tinggi tak mau dipeluk ibunya, tetapi
berteriak-teriak memanggil nama pembantu mereka yang sedang mudik
lebaran.
Kesimpulan dari cerita tadi :
1. Orang yg semakin kaya, semakin tidak punya waktu (buat keluarga,
dirinya sendiri) Prinsip golongan orang no. 1 ini adalah ===> ORANG
bekerja untuk UANG.
2. Orang yg semakin kaya, semakin punya waktu dan menikmati kekayaan
bersama keluarganya. Prinsip golongan ini ===> UANG bekerja untuk
ORANG
Karena di Indonesia (khususnya di
mengenal orang dari golongan no. 1 itu, maka DOGMA "Kalau mau kaya
harus punya pendidikan tinggi dan bekerja keras serta mengorbankan waktu"
dianggap benar.
Akibatnya semakin tinggi jabatan dan kariernya, semakin sibuk dia,
sehingga waktu buat keluarga dan diri sendiri tidak punya.
Akibatnya bisa kita lihat, banyak eksekutif yang mudah stress dan
terkena penyakit. Kaya tapi Stress dan penyakitan.
Nah, termasuk golongan manakah kita?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar