Minggu, 25 Desember 2011

Renungan Ayah

Pudarnya pesona Cleopatra

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.” Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu” kata ibu.“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu” , ucap beliau dengan nada mengiba.Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai.  Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun. Namun garis -garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali. Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya! Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya. Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa hidupku adalah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia. Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab ” tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga” Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, ” kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. “wallahu a’lam” jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah? Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini”. Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku.  Hari terus berjalan, tetapi komunikasi Kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku. Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. “Mas tidak apa-apa” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. “Mas airnya sudah siap” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk. “Mas aku buatkan wedang jahe” Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan. Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. ” Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. “Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas”. ” Biasanya dikerokin” jawabku lirih. ” Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra.  Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya.” Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu” kata Ratu Cleopatra. ” Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu”. Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian. Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba ” Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya” kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. ” Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya” lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya. Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra. ” Mas, nanti sore ada acara aqiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang” Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe. Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. ” Maaf..maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. ” Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. ” Ya Mas!” sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “dinda”. ” Matanya sedikit berbinar. “Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan. Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. ” Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?”. Hana begitu bahagia.  Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini. Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah baru lembaran pernikahan Kami. Benar dugaan Raihana, Kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. ” Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia. Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana. Sambutan sanak saudara pada Kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. ” Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku. ” Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah Kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.
Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis. Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya” Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. ” Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku. Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, ” Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita”.  Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir. Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh. Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani . “Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi. “Alhamdulillah, sudah” jawabku. ” Dengan orang mana?. ” Orang Jawa”. ” Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”. “Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”. ” Kau sangat beruntung, tidak sepertiku”. ” Kenapa dengan Bapak?” ” Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”. ” Bagaimana itu bisa terjadi?”. ” Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia. Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk itu. Saya bersumpah tidak akan menikaha dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua. Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan Yasmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun pertama hidup Kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak Kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali Yasmin tidak bisa. Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya ingin rendang, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia. Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir. Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. ” Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir”. Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal. Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang”.  Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya. Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke took baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas Merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku. “Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba” tulis Raihana. Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa” Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku. Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau”. Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata.  Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi Cintaku dengan Raihana. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. ” Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi. ” Raihana…istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya” . ” Ada apa dengan dia”. ” Dia telah tiada”. ” Ibu berkata apa!”. ” Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya” . Hatiku bergetar hebat. ” kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”. ” Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar Kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal Kami sangat sedih, Jadi Maafkanlah Kami”.  Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira. Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua …….. Sumber : Buku : Pudarnya Pesona Cleopatra

Rabu, 21 Desember 2011

Renunganku

Kenapa Kita Mesti Shalat?

oleh : Abdur Ra’uf al-Hinawi
 Allah Subhaanahu Wata’ala tidak membutuhkan shalat kita, tetapi kitalah yang butuh untuk shalat kepadaNya. Sesungguhnya Dia tidak membutuhkan makhlukNya, namun makhlukNya lah yang membutuhkanNya.
 
Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,"Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia mengendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah." (Fathir: 15-17)

Dia telah menciptakan mereka telanjang tanpa pakaian maupun alas kaki, tidak memiliki apa-apa, tubuh yang lemah, pikiran kaku, tidak dapat membedakan antara makanan dan bara api dan tidak mampu memberikan manfaat maupun menyebabkan mudharat bagi diri mereka sendiri. Lalu Allah Subhaanahu Wata’ala memberi mereka makanan, menguatkan dan memberikan kesehatan, akal dan harta. Dia menundukkan bagi mereka apa yang di langit dan bumi dan menyempurnakan nikmatNya kepada mereka, lahir dan batin. Setelah pemberian yang banyak ini, -sementara Dia adalah Pemilik kekuasaan dan di tanganNya perbendaharaan langit dan bumi- apakah kamu melihatNya membutuhkan shalat kita?

Tidak, shalat kita hanyalah ungkapan tegas tentang rasa cinta kita kepadaNya dan pengakuan terhadap karuniaNya serta rasa syukur terhadap nikmatNya.
Sesungguhnya orang-orang yang meremehkan perkara shalat, dikaruniai oleh Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman dengan beragam nikmat seperti yang dikaruniakanNya kepada kita, bahkan boleh jadi Dia memberikan lebih banyak kepada mereka dari apa yang diberikan kepada kita. Hanya saja kita mengakui karuniaNya itu, sementara mereka mengingkarinya. Mereka lupa hari kelahiran mereka, hari di mana mereka tidak memiliki sesuatu pun. Dan mereka lalai hari kematian mereka, hari di mana mereka meninggalkan apa yang telah mereka kumpulkan bagi para ahli waris mereka agar dapat bersenang-senang dengannya sementara mereka akan dihisab atas hal itu. Mereka telah berani terhadap Allah Subhaanahu Wata’ala dan menyombongkan diri serta enggan beribadah kepadaNya. Mereka kelak akan menemui kesesatan. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,
"Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (Ghafir: 60)

Kenapa kamu paksakan dirimu dengan memeluk Islam, wahai orang yang meninggalkan shalat, jika kamu tidak membutuhkannya? Kenapa kamu tidak shalat jika kamu meyakininya? Apakah kamu tidak enak hati bila dikatakan, ‘Kamu seorang religius yang takut kepada Allah Subhaanahu Wata’ala?’ Apakah kamu senang bila dikatakan, ‘Kamu adalah orang fasik yang menentang Allah Subhaanahu Wata’ala?’ Bagaimana kamu dapat menaati perintah para pemimpinmu sementara kamu menentang perintah Allah Subhaanahu Wata’ala? Apakah para pemimpinmu itu bagimu pangkatnya jauh lebih tinggi dan agung daripada Allah Subhaanahu Wata’ala? Allah-lah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Mulia.

Hushain bin ‘Ubaid pernah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya mengumpati dan mencelanya karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menentang orang-orang kafir Quraisy, menganggap bodoh angan-angan mereka dan mencela tuhan-tuhan mereka, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegakkan hujjah terhadapnya dan menolak kebatilannya dengan kalimat kebenaran, lalu ia mendengar dan beriman padahal hatinya lebih keras daripada batu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Wahai Hushain, berapa banyak tuhan yang kamu sembah? Ia menjawab, ‘Tujuh di bumi dan satu di langit.’ Beliau berkata, ‘Bila kamu ditimpa suatu kesulitan, kepada siapa kamu meminta?’ Ia menjawab, ‘Yang ada di langit.’ Beliau berkata, ‘Bila hartamu binasa, kepada siapa kamu meminta?’ Ia menjawab, ‘Yang ada di langit.’ Beliau berkata, ‘Hanya Dia semata yang mengabulkan permohonanmu, sementara kamu mempersekutukan mereka bersamaNya?’ Wahai Hushain, masuk Islamlah, pasti kamu selamat." (Al-Ishabah, oleh Ibnu Hajar, II/87).

Saya katakan kepadamu, wahai Muslim yang meninggalkan shalat, yang lalai terhadap Rabb Yang mengawasimu dan menunggumu, shalatlah, pasti kamu selamat dari adzab Allah Subhaanahu Wata’ala yang pedih. Sungguh tercela kamu jika meminta kepada Allah Subhaanahu Wata’ala saat ditimpa bencana sementara kamu melalaikanNya saat mendapatkan kesenangan. 

Kamis, 15 Desember 2011

Acuan Hidup

Kerja itu cuma selingan…

“Kerja itu cuma selingan, Ndra. Untuk menunggu waktu shalat…”
Ketika Pak Heru, atasan saya, memerintahkan untuk mencari klien yang bergerak di bidang interior, seketika pikiran saya sampai kepada PakAzis. Meskipun hati masih meraba-raba, apa mungkin Pak Azis mampu membuat kios internet, dalam bentuk serupa dengan anjungan tunai mandiri dan dari kayu pula, dengan segera saya menuju ke bengkel workshop Pak Azis.
Setelah beberapa kali keliru masuk jalan, akhirnya saya menemukan bengkel Pak Azis, yang kini ternyata sudah didampingi sebuah masjid.
Bengkelnya masih rumah kayu, masih seluas dulu, ketika pertama kali saya berkunjung ke sana. Pak Azis-pun tampak awet muda, sama seperti dulu.
Masih dengan sigaret kreteknya, masih langsing dan tampak sehat, hanya pakaiannya yang sedikit berubah.
Kali ini dia selalu memakai kopiah putih. Rautnya cerah, fresh, memancarkan kesan tenang dan lebih santai. Beungeut wudhu-an (wajah sering wudhu), kata orang sunda. Selalu bercahaya.
Karena lama tidak bertemu, sebelum sampai ke pokok permasalahan, kami berbincang-bincang cukup lama.
Dalam rentang tujuh tahun, ternyata banyak sekali proyek yang sudah Pak Azis kerjakan, bahkan kerja arsitekpun, yang sedikit berbeda dari bidang keahlian yang digelutinya tujuh tahun lalu, pernah juga ia garap.
Salah satu merek pakaian muslim kenamaan, mempercayakan pembangunan dan interior ruangan butiknya di seluruh kota besar Indonesia, kepada Pak Azis.
Ornamen kayu di kubah Masjid Raya propinsi-pun merupakan buah karyanya.
Yang agak surprise, ternyata Pak Azis juga yang menangani furniture dan interior untuk acara pengajian Ramadhan sebuah televisi swasta, yang menghadirkan seorang ulama kenamaan.
Muncul pertanyaan di benak saya : karena kerap bersinggungan dengan kegiatan islamkah Pak Azis bisa tampak begitu tenang dan awet muda ?
**
Hidayah Allah ternyata telah sampai sedari lama, jauh sebelum Pak Azis berkecimpung dalam berbagai dinamika kegiatan Islam.
Hidayah itu bermula dari peristiwa angin puting-beliung, yang tiba-tiba menyapu seluruh atap bengkel workshop-nya, pada suatu malam kira-kira lima tahun silam.
“Atap rumah saya sampai tak tersisa satupun. Terbuka semua.”
cerita Pak Azis. “Padahal nggak ada hujan, nggak ada tanda-tanda bakal ada angin besar. Angin berpusar itupun cuma sebentar saja.”
Batin Pak Azis bergolak setelah peristiwa itu. Walau uang dan pekerjaan masih terus mengalir kepadanya, Pak Azis tetap merasa gundah, gelisah, selalu tidak tenang. “Seperti orang patah hati, Ndra. Makan tidak enak, tidur juga susah, pokoknya persis seperti putus cinta.” cerita Pak Azis lagi.
Lama-kelamaan Pak Azis menjadi tidak betah tinggal di rumah, merasa stres atas segala rutinitas pekerjaan, yang menurutnya seperti buang-buang waktu saja.
Rutinitas kerja membuatnya selalu gugup, sehingga waktu terasa pendek, jadi sulit menikmati detik demi detiknya. Padahal, sebelum kejadian angin puting-beliung yang anehnya hanya mengenai bengkel workshop merangkap rumahnya saja, Pak Azis merasa hidupnya sudah sempurna. Dari desainer grafis dia bisa menjadi desainer interior, dari desainer interior dia bisa menjadi arsitek, dan dengan kemampuan serbabisa itu, berarti semua cita-citanya sudah berhasil dicapai. Pak Azis merasa puas dan bangga, karena menguasai banyak keahlian dan mempunyai penghasilan tinggi.
Tapi setelah peristiwa angin puting-beliung itu, ketika kegelisahan kembali menghinggapi dirinya, Pak Azis kembali bertanya : apa sih yang kurang ?
“Seperti musafir atau walisongo, saya kemudian mendatangi masjid-masjid di malam hari. Semua masjid besar dan beberapa masjid di pelosok Bandung ini, sudah pernah saya inapi.” Setahun lebih cara tersebut ia jalani, sampai kemudian akhirnya Pak Azis bisa tidur normal, bisa menikmati pekerjaan dan keseharian seperti sediakala.
“Bahkan lebih tenang dan santai daripada sebelumnya.”
“Lebih tenang ?
Memang Pak Azis dapat hikmah apa dari tidur di masjid itu ?”
“Di masjid itu ‘kan tidak sekedar tidur, Ndra.
Kalau ada shalat malam, kita dibangunkan, lalu pergi wudhu dan tahajjud.
Sebab terbiasa, tahajjud juga jadi terasa enak.
Malah nggak enak kalau tidak shalat malam, dan shalat wajib yang lima itu jadi kurang enaknya, kalau saya lalaikan. Begitu, Ndra.”
“Sekarang tidak pernah terlambat atau bolong shalat-nya, Pak Azis ?
“Alhamdulillah. Sekarang ini yang saya anggap utama itu adalah shalat.
Jadi, saya dan temen-temen kerja itu cuma sekedar selingan saja.”
“Selingan ?”
“Ya, selingan yang berguna. Untuk menunggu kewajiban shalat, Ndra.”
Untuk beberapa lama saya terdiam, sampai kemudian adzan ashar mengalun jelas dari masjid samping rumah Pak Azis. Beliau mengajak saya untuk segera pergi mengambil air wudhu, dan saya lihat para pekerjanyapun sudah pada pergi ke samping rumah, menuju masjid.
Bengkel workshop itu menjadi lengang seketika. Martil, pahat, diletakkan begitu saja disamping pekerjaan yang belum selesai atau rautan-rautan kayu. Sambil memandang seluruh ruangan bengkel, sambil berjalan menuju masjid di samping workshop, terus terngiang-ngiang di benak saya:
“Kerja itu cuma selingan, Ndra. Untuk menunggu waktu shalat…”
Sepulangnya dari tempat workshop, sambil memandang sibuknya lalu lintas di jalan raya, saya merenungi apa yang tadi dikatakan oleh Pak Azis.
Sungguh trenyuh saya, bahwa setelah perenungan itu, saya merasa sebagai orang yang kerap berlaku sebaliknya. Ya, saya lebih sering menganggap shalat sebagai waktu rehat, cuma selingan, dan ada kecenderungan saya lebih mementingkan pekerjaan.
Kadang-kadang waktu shalat dilalaikan sebab pekerjaan belum terselesaikan, atau rapat dengan klien dirasakan tanggung untuk diakhiri.
Itulah penyebab dari kegersangan hidup saya selama ini.
Saya lebih semangat dan habis-habisan berjuang meraih dunia, daripada mempersiapkan bekal terbaik untuk kehidupan kekal di akhirat nanti.
Saya lupa, bahwa shalat adalah yang utama.
Sungguh heran bila ruangan shalat kurang bersih, kurang rapi, sekedar untuk rebahan/tiduran, ditempeli stiker/tulisan yang kurang bagus ???
Yang pertama diperiksa dalam pengadilan mahsyar, adalah SHALAT, dimana nasib setiap manusia ditentukan.
Dirikanlah SHALAT dan tunaikan zakat !!!
Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan, engkau sepelekan !

Rabu, 07 Desember 2011

Renungan kaum ibu

Tubuh Mungil Itu Mengharap Surga

Tubuh mungil itupun terjerembab jatuh setelah didorong bapaknya yang sedang kesetanan. Tidak puas melihat anaknya menahan tangis, tongkat sapu pun dilayangkan hingga mengenai pantat anak kecil yang baru 6 tahun itu. Tiga pukulan yang keras akhirnya membuat tangis anak itu menggelegar. Tubuhnya terguncang menahan sakit dan tangisnya terdengar pilu. Setelah puas melihat anaknya menangis, sang bapakpun berkata dengan kasar: ”Kenapa Ilman mencuri uang bapak? Untuk apa uang 50 ribu itu? Bukankah selama ini Ilman diberi sehari 5 ribu untuk jajan di sekolah? Sementara anak lain tidak ada yang diberikan sebanyak itu. Setiap tahun Ilman diberikan baju, tas, sepatu dan semua kebutuhan. Bapak bekerja siang dan malam untukmu Man!!!!”
Anak ini hanya bisa menangis tersedu. Dia tidak mampu menjawab pertanyaan dan kemarahan bapak yang dicintainya. Dia hanya bisa merintih menahan sakit di bagian kepala yang baru saja terbentur. Suasanapun berangsur mereda dan menjadi sunyi. Namun, tiba-tiba saja dari ruang tengah berdering telepon. Sang bapak yang sudah terlihat capek ini perlahan mendekati gagang telepon. Dikejauhan terdengar suara
perempuan. Ternyata, ia adalah ibu guru anak ini. Setelah basa-basi sebentar bu gurupun bercerita,
”Bagaimana si Ilman pak?
Maaf saya menelpon bapak karena ada hal penting yang perlu bapak ketahui. Akhir-akhir ini si Ilman terlihat murung. Kira-kira sudah satu minggu ini. Tadi pagi dia datang menemui saya. Dia mengemukakan kebingungannya. Ia mengaku telah mencuri uang bapak. Dan saya lihat uang yang dicuri 50 ribu rupiah. Dia bertanya apakah itu berdosa. Saya mengatakan bahwa itu dilarang agama. Kemudian dia mengeluarkan uang sebanyak 30 ribu rupiah dari tasnya. Sayapun kaget dan bertanya apakah itu hasil dari mencuri. Dia menggelengkan kepala dan mengatakan tidak. Uang itu dikumpulkan dari uang jajan yang bapak berikan setiap hari. Jadi, selama ini dia tidak jajan selama seminggu. Yang membuat saya iba dan sedih ketika Ilman bertanya apakah uang yang ia kumpulkan ini cukup untuk pergi ke Surga? Saya tanya kenapa? Katanya ia ingin bertemu ibunya yang sekarang di surga. Ia kangen sama ibu Pak. Ia ingin seperti teman-temanya yang masih bias berkumpul dengan kedua orang tuanya. Ia kangen sekali sama ibu Pak. Kata Ilman ibunya telah menghilang setelah ketemu terakhir di rumah sakit. Maaf…..”. Telpon itupun terputus. Tidak kuat menahan tangis sang bapak berlari menuju Tubuh mungil itu. Tubuh kecil itupun diangkat dengan penuh kasih. Namun takdir berbicara lain, anak itu telah menyusul ibunya di surga….
Profesional muda yang dirahmati Allah,
Anak adalah titipan. Ia adalah buah dari cinta kasih bersama pasangan kita. Allah SWT telah menganugerahkan anak itu untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, diajarkan kasih sayang, dididik agar taat kepada orang tua dan agamanya. Anak jugalah yang bisa mengangkat derajat orang tuanya di surga. Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah SWT akan mengankat derajat seorang hamba yang shalih di surga. Kelak ia akan berkata, ’’Wahai Rabbku, bagaimana hal ini bisa terjadi padaku?’ . Dijawab,’karena permohonan ampunan anakmu untukmu”


Profesional muda, yang dirahmati Allah,
Sudahkah kita memperlakukan anak kita dengan baik? Sudahkah kita mengetahui harapan-harapannya? Impiannya? Keinginannya? Dan…yang terbaik untuknya? Ingatlah, anak yang shaleh adalah satu-satunya orang yang masih bisa berkirim kebaikan pada kita, disaat semua pintu amal telah terputus. Saat kematian bersama kita, ketika di alam barzah, menunggu hari Perhitungan.

Selasa, 06 Desember 2011

ARTIKEL GURU PAI


GURU PAI SOSOK PENDIDIK IDEAL
PENDAHULUAN
Guru merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam pendidikan. Untuk itu setiap adanya inovasi pendidikan, khususnya dalam kurikulum dan peningkatan sumber daya manusia yang dihasilkan dari upaya pendidikan harus bermuara pada guru. Hal ini menunjukkan bahwa betapa eksistensi dan  peran guru dalam dunia pendidikan amat penting.
Guru sebagai salah satu komponen dalam kegiatan belajar mengajar, memiliki posisi yang sangat menentukan keberhasilan, karena fungsinya adalah merancang, mengelola, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran. Di samping itu, kedudukan guru dalam kegiatan belajar mengajar juga sangat strategis dan menentukan. Strategis karena guru yang akan menentukan kedalaman dan keluasan materi pelajaran, bersifat menentukan karena guru yang memilah dan memilih bahan pelajaran yang akan disajikan kepada peserta didik. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan guru adalah kinerja di dalam merencanakan atau merancang, melaksanakan dan mengevaluasi proses belajar mengajar.
     Guru ideal adalah dambaan peserta didik. Guru ideal adalah sosok guru yang mampu untuk menjadi panutan dan selalu memberikan contoh atau keteladanan. Ilmunya seperti mata air yang tak pernah habis, semakin diambil semakin jernih airnya, mengalir bening dan menghilangkan rasa dahaga bagi siapa saja yang meminum. Guru ideal adalah guru yang mengusai ilmunya dengan baik. Mampu menjelaskan dengan baik apa yang diajarkannya. Disukai oleh peserta didiknya karena cara mengajarnya yang enak didengar dan mudah dipahami. Ilmunya mengalir deras dan terus bersemi di hati para anak didiknya. Tapi, dia pun harus bisa menerima kritikan dari peserta didiknya. Dari kritik itulah dia dapat belajar dari para peserta didiknya. Guru ideal justru harus belajar dari peserta didiknya. Dari mereka guru dapat mengetahui kekurangan cara mengajarnya, dan melakukan umpan balik (feedback).
Benarkah sosok itu ada? Lalu seperti apakah sosok guru PAI ideal yang diperlukan saat ini? Untuk menjadi guru pendidikan Agama Islam yang ideal haruslah memiliki beberapa kemampuan dan juga harus memiliki syarat-syarat tertentu. 

PEMBAHASAN
Pengertian Pendidik
     Kata pendidik berasal dari kata dasar didik, artinya memelihara, merawat dan memberi latihan agar seseorang memiliki ilmu pengetahuan seperti yang diharapkan (tentang sopan santun, akal budi, akhlak dan sebagainya. Selanjutnya dengan menambah awalan pe hingga menjadi pendidik, yang artinya orang yang mendidik. Secara terminologi pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap berlangsungnya proses pertumbuhan dan perkembangan potensi anak didik, baik potensi kognitif,affektif maupun psikomotoriknya.[1]
     Dalam pengertian yang lebih luas pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya pertumbuhan dan perkembangan rohani peserta didik agar ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya sesuai dengan nilai-nilai ajarannya. Oleh karena itu pendidik (guru) dalam konteks ini bukan hanya terbatas pada orang-orang yang bertugas di sekolah tetapi semua yang terlibat dalam proses pendidikan anak mulai sejak dalam kandungan hingga ia dewasa.
Tenaga Pendidik dalam Pendidikan Islam
     Kedudukan Rasulullah sebagai pendidik ideal dapat dilihat dalam dua hal, yaitu Rosulullah sebagai pendidik pertama dalam pendidikan Islam dan keberhasilan yang dicapai Rasulullah dalam melaksanakan  pendidikan. Dalam hal ini, Rasulullah berhasil mendidik manusia supaya berbahagia di dunia dan akhirat dalam satu masyarakat yang adil dan makmur, lahir dan bathin.
     Keluarga merupakan institusi pertama dan utama dalam perkembangan seorang individu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pembentukan kepribadian peserta didik bermula dari lingkungan keluarga.[2]
     Orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga disebabkan karena secara alami anak-anak pada masa awal kehidupannya berada di tengah-tengah ayah dan ibunya. Dari merekalah anak mulai mengenal pendidikannya. Dasar pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup banyak tertanam sejak anak berada di tengah orang tuannya.
     Pada masa sekarang, orang tua dalam keluarga sebagai pendidik utama mulai kehilangan eksistensinya. Hal ini tersebut dikarenakan kehidupan semakin menuntut kerja keras guna memenuhi tanggung jawab fisiologis. Sehingga kesempatan orang tua untuk mengajar anak-anak semakin berkurang. Sebagai jalan alternatifnya pendidikan anak yang semula di bebankan secara utuh dalam keluarga sekarang dialihkan ke sekolah-sekolah formal. Orang yang mengajar di sekolah tersebut disebut guru. Guru adalah pekerja profesional yang secara khusus disiapkan untuk mendidik anak-anak yang telah diamanahkan oleh orang tua untuk dapat mendidik anaknya di sekolah.
Sosok Guru PAI yang Ideal
     Profesi sebagai pendidik atau guru (PAI) merupakan pekerjaan yang sangat mulia dalam pandangan Islam. Hal ini adalah wajar mengingat pendidik merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap masa depan peserta didiknya. Malahan Rasululloh menegaskan bahwa salah satu diantara tiga macam amal perbuatan yang tidak akan pernah hilang meskipun seseorang telah meninggal dunia adalah pemberian ilmu yang bermanfaat kepada orang lain, pahala yang mengajarkan ilmu dengan ikhlas akan terus mengalir selama orang lain atau murid-muridnya mengamalkannya. Oleh karena itu pendidik dalam pendidikan Islam memiliki sifat khas yang membedakannya dengan yang lain.Dalam ajaran Islam pendidik disamakan dengan ulama yang sangatlah dihargai kedudukannya.[3]
     Dalam menjalankan tugasnya, pendidik jangan sekali-kali bekerja karena upah atau pujian, tetapi hanya mengharapkan keridhan Allah dan berorientasi untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Namun kalau diberi gaji atau upah boleh diterima selama tidak mengurangi niat karena Allah dalam mengajar, karena dalam ajaran Islam pekerjaan mendidik adalah ibadah.[4]

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan’.
     Firman Allah tersebut menggambarkan tingginya kedudukan orang yang mempunyai ilmu pengetahuan (pendidik). Hal ini beralasan bahwa dengan pengetahuan dapat enghantarkan manusia untuk selalu berfikir dan menganalisa hakikat semua fonemena yang ada pada alam, sehingga mampu membawa manusia semakin dekat dengan Allah.
     Menurut Hasan Langgulung kedudukan pendidik dalam pendidik Islam ialah orang yang memikul tanggungjawab membimbing, mengarahkan  dan mendidik peserta didik. Selain sebgai pembimbing dan pemberi arah dalam pendidikan, pendidik juga berfungsi sebagai inovator dan fasilitator dalam proses kegiatan belajar mengajar, yaitu berupaya teraktualisasinya sifat-sifat Illahi dan mengaktualisasikan potensi-potensi yang ada pada diri peserta didik.
     Profil guru ideal adalah sosok yang mengabdikan diri berdasarkan penggilan jiwa, panggilan hati nurani, bukan karena tuntutan uang belaka, tidak membatasi tugas dan tanggung jawabnya tidak sebatas dinding sekolah.[5]
Guru ideal yang diperlukan saat ini adalah: 
pertama, guru yang memahami benar akan profesinya. Profesi guru adalah profesi yang mulia. Dia adalah sosok yang selalu memberi dengan tulus dan tak mengharapkan imbalan apapun, kecuali ridho dari Tuhan pemilik bumi. Falsafah hidupnya adalah tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Hanya memberi tak harap kembali. Dia mendidik dengan hatinya. Kehadirannya dirindukan oleh peserta didiknya. Wajahnya selalu ceria, senang, dan selalu menerapkan 5S dalam kesehariannya (Senyum, Salam, Sapa, Syukur, dan Sabar).
Kedua, Guru yang ideal adalah guru yang memiliki sifat selalu berkata benar, penyampai yang baik, kredibel, dan cerdas. Guru yang memiliki keempat sifat itu adalah guru yang mampu memberikan keteladanan dalam hidupnya karena memiliki budi pekerti yang luhur. Selalu berkata benar, mengajarkan kebaikan, dapat dipercaya, dan memiliki kecerdasan yang luar biasa. Sifat tersebut di atas harus dimiliki oleh guru dalam mendidik anak didiknya karena memiliki motto iman, ilmu, dan amal. Memiliki iman yang kuat, menguasai ilmunya dengan baik, dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain.
Selain itu, Guru yang ideal adalah guru yang memiliki 5 kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki terpancar jelas dari karakter dan perilakunya sehari-hari. Baik ketika mengajar, ataupun dalam hidup ditengah-tengah masyarakat. Kompetensi adalah kemenangan untuk menentukan pendidikan agama yang akan diajarkan pada jenjang tertentu di sekolah tempat guru itu mengajar.[6]
Kompetensi juga dapat diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga sesorang dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.[7]
Kelima kecerdasan atau kompetensi  itu adalah:
  1. kecerdasan intelektual
  2. kecerdasan moral
  3. kecerdasan social
  4. kecerdasan emosional
  5. kecerdasan motorik
Kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kecerdasan moral.Bila kecerdasan intelektual tidak diimbangi dengan kecerdasan moral akan menghasilkan peserta didik yang hanya mementingkan keberhasilan ketimbang proses. Segala cara dianggap halal, yang penting target tercapai semaksimal mungkin. Inilah yang terjadi pada masyarakat kita sehingga kasus plagiarisme (menjiplak karya tulis ilmiah milik orang lain) dan korupsi merajalela di kalangan orang terdidik. Karena itu kecerdasan moral akan mengawal kecerdasan intelektual sehingga akan mampu berlaku jujur dalam situasi apapun. Kejujuran adalah kunci keberhasilan dan kesuksesan.
Selain kecerdasan intelektual dan moral, kecerdasan sosial juga harus dimiliki oleh guru ideal agar tidak egois, dan selalu memperdulikan orang lain yang membutuhkan pertolongannya. Dia pun harus mampu bekerjasama dengan karakter orang lain yang berbeda. Kecerdasan emosional harus ditumbuhkan agar guru tidak mudah marah, tersinggung, dan melecehkan orang lain. Dia harus memiliki sifat penyabar dan pemaaf.
Sedangkan kecerdasan motorik diperlukan agar guru mampu melakukan mobilitas tinggi sehingga mampu bersaing dalam memperoleh hasil yang maksimal. Kecerdasan motorik harus senantiasa dilatih agar guru dapat menjadi kreatif dan berprestasi. Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila anda berprofesi sebagai seorang guru harus mampu berlomba-lomba untuk menjadi sosok guru yang ideal. Ideal di mata peserta didik, ideal di mata masyarakat, dan ideal di mata Sang Maha Pemberi. Bila semakin banyak guru ideal yang tersebar di sekolah-sekolah kita, maka sudah dapat dipastikan akan banyak pula sekolah-sekolah berkualitas yang mampu membentuk karakter siswa untuk memiliki budi pekerti yang luhur. Mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang diharapkan oleh para leluhur bangsa.
Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin.[8]
Asumsi yang melandasi keberhasilan baru pendidikan agama Islam dapat di formalisasikan sebagai berikut : guru pendidikan agama Islam akan berhasil menjalankan tugas kependidikannya bilamana guru tersebut mempunyai kompetensi Personal-Religius dan Kompetensi Profesional-Religius.
Sedangkan menurut Soejono mengatakan bahwa syarat guru dalam Islam ialah :
1. Tentang umur, harus sudah dewasa
Di negara kita, seseorang dianggap dewasa sejak berusia 18/ sudah kawin. Menurut ilmu pendidikan 21 tahun bagi pria dan 18 tahun bagi wanita.
2. Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani
Jasmani yang sehat, harus memperlancar pelaksanaan pendidikan dari segi rohani, orang gila berbahaya bila mendidik begitu juga orang idiot.
3. Tentang kemampuan mengajar, ia harus ahli
Orang tua di rumah sebenarnya perlu sekali mempelajari teori-teori ilmu pendidikan dengan pengetahuannya itu di harapkan akan lebih mampu menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya dirumah.
4. Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi
Syarat ini amat penting dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik selain mengajar bagaimana guru akan memberikan contoh-contoh : kebaikan bila ia sendiri tidak baik perangainya.
Di samping itu ada syarat-syarat lain yaitu :
1. Syarat Formal
a. Berijazah
Termasuk persyaratan teknis yang bersifat formal yakni berijazah pendidikan guru. Hal ini mempunyai konotasi bahwaseseorang yang memiliki ijazah pendidikan guru ini dinilai sudah mampu mengajar dengan baik, menguasai cara dan bentuk mengajar, memiliki kemampuan mendesain program pengajaran serta memiliki motivasi dan cita-cita memajukan pendidikan.
b. Guru agama harus sehat jasmani maupun rohani
Kesehatan jasmani kerapkali dijadikan salah satu syarat bagi mereka yang melamar untuk menjadi guru. Guru yang mengidap penyakit menular, umpamanya, sangat membahayakan kesehatan anak didiknya. Disamping itu guru yang berpenyakit tidak akan bergairah mengajar. Ingat pada semboyan “mens sana in corpore sano”, yang artinya dalam tubuh yang sehat terkandung jiwa yang sehat. Guru yang sakit-sakitan kerapkali terpaksa absent dan tentunya akan mengganggu kegiatan belajar mengajar dan merugikan anak didik. Begitu juga dengan guru yang cacat sedikit banyak akan mempengaruhi proses belajar mengajar, sehingga proses belajar mengajar tidak bisa maksimal.
c. Guru agama tidak cacat jasmaninya
Guru merupakan seorang pemimpin. Guru adalah pemimpin dari murid-murid yang ada dibawah asuhannya. Sebagai seorang pemimpin, wajarlah kalau ia menjadi kebanggaan dari murid-muridnya, selalu dipuja dan dipuji oleh murid-muridnya, dan sekaligus merupakan tempat kepercayaan dari murid-muridnya.
Oleh karena itu persyaratan jasmaniah bagi seorang Guru yang pertama-tama harus dipenuhi ialah, bahwa seorang Guru tidak boleh mempunyai cacat tubuh yang nyata. Hal ini semua, di samping memang bisa mengganggu Guru dalam menunaikan tugasnya, akan mengurangi atau menghilangkan kebanggaan murid itu kepada Gurunya, dan bahkan dapat mendatangkan kekecewaan di hati murid-murid. Kekecewaan murid terhadap keadaan(fisik) Gurunya ini, sangat berpengaruh pada suasana pengajaran dan pendidikan, dan dengan sendirinya berpengaruh kepada hasil pendidikan.
2. Syarat Keguruan
Yang dimaksud dengan syarat material ialah :
a. Menguasai ilmu yang akan diajarkan
Guru agama harus dapat menyampaikan pelajaran agama kepada muridnya dengan baik karena berhasil atau tidaknya guru agama dalam menyampaikan atau melaksanakan tugasnya tidak semata-mata tergantung pada penguasaan bahan, tetapi tergantung juga pada cara menyampaikan pelajaran.
b. Mengerti ilmu didaktik, tahu tentang cara mengajar (metodik)
Guru agama yang memiliki ilmu agama cukup, harus pula memiliki ilmu didaktik dan metodik karena ilmu itu akan membantu menyampaikan bahan pelajaran agama, agar dapat mencapai hasil maksimal.
c. Mengerti ilmu jiwa
Guru harus mengertu ilmu jiwa yang meliputi : ilmu jiwa perkembangan, Ilmu Jiwa Belajar dan Ilmu Jiwa Agama
3. Syarat Non Formal
  1. Memiliki loyalitas terhadap pemerintah, yang dimaksud adalah kepribadian Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
  2. Berakhlak mulia serta taat melaksanakan ajaran agama Islam.
  3. Memiliki dedikasi terhadap tugasnya sebagai guru agama. Dalam bertugas ia harus ikhlas dan mencintai tugasnya.
  4. Guru agama harus pemaaf.
  5. Guru agama harus dapat memahami dirinya, sanggup menahan kemarahan dan harus sabar serta tidak pendendam.
  6. Guru agama harus peka terhadap tabiat murid.
  7. Bagi murid yang agak kurang kemampuannya dalam menerima pelajaran agama, guru harus tahu dan mampu membimbing atas keberhasilannya murid dalam mempelajari agama.
  8. Guru agama harus mempunyai sifat terbuka.
  9. Guru agama harus zuhud.
Dalam menjalankan tugasnya di dasarkan kepada keridhoan Allah SWT, tidak mengutamakan materi.
B. Selain itu untuk menjadi guru PAI yang ideal juga harus mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Memiliki keterampilan dasar (Basic Skill)
Keterampilan yang di maksud ialah ilmu dan keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan di sekolah formal
Adapun profil kemampuan dasar bagi seorang pendidik adalah :
  1. Menguasai materi pembelajaran, baik dalam kurikulum maupun aplikasinya dalam materi pembelajaran.
  2. Mampu mengelola program pembelajaran.
  3. Mampu mengelola kelas dan menciptakan iklim pembelajaran yang konduktif.
  4. Menggunakan media atau sumber belajar.
  5. Menguassai landasan-landasan kependidikan.
  6. Mampu mengelola interaksi dalam proses pembelajaran dan memberika penilaian yang komprehensif kepada siswa.
2. Menguasai keterampilan khusus (Spesialisasi).
Tenaga kerja yang memiliki keahlian khusus akan mampu bertahan dan bersaing di abad mendatang.
3. Menguasai keterampilan hardware dan software.
Hampir semua sisi umat manusia tidak terlepas pada pelajaran komputer. Kehidupan manusia di abad mendatang akan sangat tergantung pada pelajaran komputer.
4. Menguasai keterampilan berkomunikasi dengan bahasa asing.
Berkomunikasi dengan bahasa asing, mutlak diperlukan di era globalisasi ini terutama bahasa Inggris.
5. Menguasai keterampilan manajerial dan kepemimpinan.
Kompetensi manajerial di tandai oleh kemampuan mengatur dan mengelola organisasi menjadi lebih berdaya guna dan berhasil guna.
Bila dihubungkan dengan kualitas, profesionalitas harus mampu menanamkam prioritas pada pola kerja tim dan membangun budaya masyarakat lokal yang kuat, termasuk di lingkungan lembaga pendidikan. Guru PAI yang ideal (profesional) harus memiliki kemampuan.
  1. Meingkatkan kemampuan strategi pengendalian resiko di antara teman seprofesi.
  2. Memiliki kreativitas yang tinggi dan mampu menghadapi setiap manusia yang berbeda.
  3. Komitmen terhadap pekerjaan walaupun sangat sulit.
  4. Konsisten pada setiap orang dan berprilaku pamong dalam kesehariannya, bukan hanya sekedar di atas kertas kebijakan atau prosedur-prosedur.
  5. Mengembangkan norma kolaborasi.
  6. Saling mendorong dan memberikan bantuan.
  7. Kemampuan melihat problem sebagai masalah bersama
KESIMPULAN
Data dipahami bahwa siapapun dapat menjadi pendidik agama Islam asalkan ia memiliki pengetahuan (kemampuan) lebih mampu mengimplisitkan nilai relevan (dalam pengetahuannya itu). Guru merupakan suatu profesi yang bukan sekedar pekerjaan atau vocation, melainkan suatu vokasi khusus yang mempunyai ciri-ciri diantaranya yaitu: keahlian (expertise), tanggung jawab (responsibility), dan rasa kesejawatan yaitu (corporateness), selain itu guru juga mempunyai kecakapan dan pengetahuan dasar yang harus dimiliki.
     
Untuk itu seorang guru harus memenuhi berbagai persyaratan baik secara fisik, psikis, mental, moral maupun intelektual yang secara ideal supaya kelak mampu menunaikan tugasnya dengan baik. Sehingga guru sebagai pendidik dan pengajar mempunyai peranan dan tanggung jawab dalam membentuk pribadi siswanya terutama dalam pendidikan yang diarahkan agar setiap siswanya menjadi manusia yang beriman, berilmu, berakhlak mulia serta mampu membangun dirinya dan berperan aktif dalam pembangunan bangsa.
Dengan demikian seorang guru yang ideal mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan karena menyangkut esensi pekerjaan yang membutuhkan kemahiran untuk mewujudkan guru yang ideal (termasuk guru agama), yang dapat mengambil tuntunan nabi Muhammad SAW karena beliau adalah satu-satunya pendidik yang paling berhasil dalam rentang waktu yang relatif singkat, sehingga dapat diharapkan dapat mendekatkan realitas (guru) dengan yang ideal (Nabi Muhammad SAW).
Sehingga hal ini dijadikan patokan untuk menjadikan permasalahan yang berkembang akhir-akhir ini dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan ke arah yang lebih baik terutama seorang guru yang dijadikan pedoman bagi siswa-siswinya.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, PT. RemajaRosdakarya, Bandung, 1991.
Depag RI., Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam Pada SD, CV. Multigaya, Jakarta, 1986.
E Mulyasa,  Menjadi Guru profesional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2010
Hasan Langgulung, Beberapa Tinjauan dalam Pendidikan Islam, Pustaka antara 1981
 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001.
Mukhtar, Desain Pembelajaran PAI, CV. Misaka Galiza, Jakarta, 2003
Ramayulis,Filsafat Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta 2010
Standar Kompetensi Guru, Balai Diklat Keagamaan, Bandung 2010
.Zakiah darajat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah,Ruhama, Jakarta :1994



  • [1]  Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persektif Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya 1992,   hal:74
  • [2]. Hasan Langgulung, BeberapaT injauan dalam Pendidikan Islam, Pustaka antara 1981, hal: 86
  • [3]  Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, kalam Mulia, Jakarta 2010
  • [4]  Ramayulis,Filsafat Pendidkan Islam, Kalam Mulia, Jakarta 2010 hal:150
  • [5]  Standar Kompetensi Guru, Bahan Ajar Diklat Guru PAI, Kementrian Agama Balai Diklat Keagamaan Bandung:2010 Hal:8
  • [6] .Zakiah darajat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah,Ruhama, Jakarta :1994, hal:95
  • [7]  Standar Kompetensi Guru, Bahan ajar Diklat Guru PAI, Kementrian Agama Balaia Diklat Keagamaan Bandung:2010 Hal:1
  • [8]  E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, Remaja Rosdakarya, Bandung 2010, hal:37